Menjawab Hersubeno Arif, Soal Bunuh Diri Massal Media di Indonesia


ngokos.id -- Setelah Reuni 212, ada satu artikel dimuat Kumparan.com yang menarik perhatian saya. Judulnya: aksi 'bunuh diri massal' pers Indonesia. Penulisnya Hersubeno Arif. Dia menyebut dirinya sebagai konsultan media dan politik.

Hersubeno membagi tulisannya dalam dua bagian. Namun isunya sama. Yaitu menyoal kenapa acara Reuni 212 tak dijadikan headline oleh koran-koran di Ibukota. Seperti Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia dan Sindo.

Menurut dia, dari segi nilai berita, reuni 212 sangat layak muncul di halaman depan. Apalagi massa hadir jumlah jutaan katanya.

Acara di Monas itu, hanya jadi headline di Republika dan beberapa media lain. Hersubeno pun tampaknya kurang puas. Sebab, katanya, isi beritanya datar saja.
Dia lalu berkesimpulan. Bahwa koran-koran itu partisan. Tidak netral dan mendukung penguasa.

Semula, saya ingin menanggapi apa yang ditulis Hersubeno Arif dengan serius. Saya ingin baca-baca buku lagi tentang framing sebelum menulis.

Namun begitu menelusuri nama Hersubeno Arif lewat om google. Saya putuskan tak perlu repot-repot buka buku untuk mementahkan argumen yang disampaikan Hersubeno.

Jejak digitalnya, cukup menggambarkan bahwa dia juga partisan. Selain di Kumparan, dia nampaknya juga rajin nulis di ngopibareng.id. eramuslim.com juga zonasatunews.com. dia juga punya blog pribadi memakai namanya.

Dari sekian banyak kolom yang dia tulis. Sangat jelas, dia bukanlah penulis yang independen. Di situs ngopibareng, banyak tulisannya yang mengeritik pemerintahan Jokowi. Dan sebaliknya mendukung Prabowo dan Sandiaga Uno.

Dari jejak digital itu, saya tak perlu repot-repot buat analisis framing, kenapa reuni 212 tak jadi headline di media nasional.

Pertama, saya sepakat dengan Hersubeno, secara teori, reuni 212 di Monas itu sangat layak berita, sangat layak headline.

Yang membuatnya tidak layak jadi headline karena acara ditunggangi kepentingan politik Pilpres. Lihat saja pidato Ketua FPI Habib Rizieq. Dia memakai metafora yang sudah  jamak orang tahu. Bahwa partai  pendukung penista agama yang dimaksud Rizieq adalah PDIP.

Nuansan politik kian kental, karena panitia reuni banyak diisi tim kampanye Prabowo. Saya sebut satu nama saja, Neno Warisman.

Makin kental lagi. Ketika banyak peserta reuni berfoto bersama juga berselfie, dengan jemari membentuk pistol, hanya jempol dan telunjuk. Semua sudah mafhum, gaya itu adalah gaya pendukung Prabowo-Sandi.

Saya kira, keputusan redaksi Kompas, koran tempo untuk tidak menjadikannya headline adalah keputusan yang tepat. Dan justru menunjukkan ruang redaksi media di Indonesia tidak mudah baper dengan hingar bingar kerumunan massa.

Hersubeno baru boleh menuding ruang redaksi tidak independen, saat media-media seperti Kompas dan Koran Tempo memuat berita Jokowi meresmikan listrik gratis menjadi headline di hari yang sama.

Nyatanya tidak demikian. Kompas menurunkan headline tentang ancaman polusi plastik. Koran Tempo malah menurunkan headline tentang dunia digital.

Melihat pendapat Hersubeno yang hanya mengeritik media cetak. Saya kira, beliau ini penulis penganut paham lama: kalau gak dimuat media cetak, gak afdol.

Dia lupa, bahwa kompas juga punya media online. Begitu juga koran tempo, media Indonesia dan Sindo. Semua media online, milik media-media ini, sangat ramai memberitakan reuni 212 dan porsinya lebih dari cukup. Bahkan kerap viral. Apakah itu tidak cukup?

[Redaksi]

Post a Comment

0 Comments