Oleh: Gus Zahrul Azhar Hans
Tingkat keimanan pada tiap zaman pasti berbeda beda, apa lagi ketakwaan pasti lebih berbeda-beda, dus apalagi dalam teknis pelaksanaannya tiap wilayah bisa saja berbeda dan dalam Islam itu diperbolehkan karena ikhtilaf itu adalah rahmat.
Bulan puasa yang lalu selama dua minggu berada di Eropa (Jerman, Belgia dan Swiss) saya menjalankan ibadah puasa lebih dari 19 jam dan sesuai ijtihad para ulama disana selama musim panas sholat maghrib dan isya digabung di waktu maghrib pukul 22.00, karena jika sholat isya dilakukan pada pukul 01.30 maka dikhawatirkan akan menggagu kegiatan sekolah anak-anaknya di pagi harinya. Selisih sholat antar masjid juga bisa terjadi 30 menit antar masjid di waktu subuh.
Di zaman nabi, Beliau sering menggunakan 3 jari ketika makan, ya karena yang Beliau makan adalah kurma yang mudah diambil dengan jari? Bagaimana dengan orang Madura yang makan dengan soto berbuah, dan orang Cirebon dengan nasi gentong nya? Atau orang Jogja dengan bakmi godhog nya?
Mestinya kita sangat bersyukur karena masih diberikan hidayah dan karunia keimanan oleh Alloh padahal kita tidak pernah melihat apalagi bertemu dengan Rosulnya. Yang kita tau hanyalah cerita cerita dari orang tua dan guru-guru kiyai kita yang berjarak 1400 tahunan dari masa hidup Nabi dan para sahabatnya.
Gerakan kembali pada Alquran dan Hadis adalah gerakan yang mulia, siapa yang tidak rindu dan mendambakan berseiring dengan sang Nabi di akhirat nanti? Tapi harus diingat diluar itu ada Ijma’ dan Qiyas yang dilakukan para Tabiin yang juga tidak sempat bertemu dengan Nabi langsung. Melalui para taibiin dan para ulama-lah Alquran dan Hadis sampai pada zaman kita dan melalui para imam madzhab pula-lah kita diberikan juknis pelaksanaan dari Alquran dan Hadis tersebut .
Tapi lucunya sekarang ada sekelompok yang mengatakan “saya ingin murni kembali pada Alquran dan Hadis saja” tapi dia lupa bahwa Alquran dan Hadis itu tak akan mungkin bisa sampai kepada kita kalau tanpa para Mujahid Ahli Tafsir dan Hadis di tahun 700an hingga 1900an Masehi. Logikanya mana mungkin kita yang berada di gerbong kereta api nomor 19 langsung melompat ke lokomotif tanpa melalui gerbong 2-18 ?, kecuali mereka punya mesin waktu seperti Dora Emon.
Semangat beribadah itu baik tapi jika tidak memiliki ilmunya maka akan merugikan orang lain, sholat boleh dengan duduk bahkan bisa Qoshor atau Jamak tanpa menutup jalan orang lain dan itu pun sudah jelas semua dalam Hadis dan ijtihad para ulama. Tapi demi surganya mereka tega menutup jalan hajat orang lain .
Saya jadi teringat ada jamaah perempuan yang sedih karena dia merasa ibadahnya lebih sedikit dripada laki-laki karena ada halangan tamu bulanan (haid), orang-orang seperti ini bisa jadi beriman tapi belum khusnudhon kepada Gusti Allah, bahwa Allah maha kasih yang sangat tau dengan aturan-aturan yang Rasulnya berikan kepada umatnya.
Saya tidak bisa bayangkan jika tidak imbangnya antara semangat dan ilmu yang dimiliki dengan jarak yang makin jauh maka yang terjadi adalah fanatisme buta bahkan menjurus pada takfiri dan tindakakan yang naif lainnya.
...dan andaikan saja golongan golongan mereka ini juga ikut ikutan bermain didunia politik yang sama sekali mereka tidak pahami, yang terjadi adalah hanya akan menjadi bahan bakar bagi para elit politik yang tega menjual agama demi kepentingan kelompoknya semata .
Mari kita masuk surga tanpa harus mengganggu hajat orang lain .
Mari berpolitik dengan kecerdasan maksimal biar tidak hanya menjadi tambal butuh dari hajat politik orang lain.
0 Comments